Ekonom dari Pusat Kajian Keuangan, Ekonomi, dan Pembangunan Universitas Binawan, Farouk Abdullah Alwyni, menyebut bahwa defisit APBN sebesar 0,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau setara Rp21 triliun hingga Mei 2025, masih tergolong aman.

Angka ini masih jauh dari batas maksimum defisit yang ditetapkan dalam Undang-Undang APBN, yaitu sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB. Sebagai perbandingan, negara-negara maju seperti di Uni Eropa umumnya menetapkan ambang batas defisit sebesar 3 persen dari PDB.

Meski demikian, Farouk mengingatkan bahwa batas 3 persen tersebut bukanlah aturan yang bersifat mutlak. Batas yang dapat diterima tergantung pada berbagai faktor, seperti kondisi ekonomi suatu negara, tingkat utang, serta situasi khusus seperti bencana alam, krisis ekonomi, dan dinamika politik nasional.

Dikutip dari rmol.id Farouk yang pernah menjadi pejabat senior Islamic Development Bank tersebut menjelaskan bahwa “Walaupun kondisi saat ini masih tergolong aman, pemerintah tidak boleh terlena, mengingat situasi geo-politik dan ekonomi global yang penuh ketidakpastian,”

Farouk menekankan pentingnya pengendalian defisit melalui penerapan disiplin fiskal dan penetapan skala prioritas pengeluaran. Menurutnya, pemerintah perlu memfokuskan anggaran pada sektor-sektor yang memiliki dampak pembangunan signifikan, seperti program pengentasan kemiskinan serta penguatan kelas menengah. Di saat yang sama, pemerintah juga harus memangkas pemborosan di birokrasi.

Ekonom jebolan New York University ini juga mengingatkan bahwa defisit yang tidak terkendali dapat meningkatkan biaya pinjaman pemerintah. Konsekuensinya, biaya pinjaman bagi sektor bisnis maupun individu juga akan turut naik.

“Dampak lain dari defisit tinggi adalah inflasi, terutama jika pemerintah memilih untuk mencetak uang guna menutupi kesenjangan antara pengeluaran dan pendapatan,” tambahnya.

Farouk mengakhiri dengan peringatan bahwa defisit yang melebihi batas aman dapat memaksa pemerintah terus berutang, yang pada akhirnya menciptakan tingkat utang publik yang tidak berkelanjutan. Hal ini berpotensi membahayakan stabilitas ekonomi jangka panjang dan berdampak buruk bagi masyarakat luas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *